Pendidikan Saat Pandemi
cungkring.com : Tahun ini, di dunia pendidikan, semua ikut bingung dan stres. Kepsek, guru, siswa dan wali murid. Tidak ada yang nyaman dengan kondisi ini.
Kepsek, didesak dari dua sisi. Aturan dari atas yg mewajibkan anak untuk sekolah daring juga desakan sebagian orangtua yang ingin anaknya kembali ke sekolah. Sebagian lagi tetap ingin daring namun tidak banyak tugas karena orangtua juga bekerja dan persoalan2 lainnya. Belum lagi harus mengawasi puluhan guru di sekolah. Berat? Pasti.
Guru, dilema karena harus bekerja dengan porsi yang jauh lebih berat. Mulai dari membuat bahan ajar, merangkum hasil kerja siswa, membuat grup WA, memahami pembelajaran daring dll. Yakinlah, kerjaan guru bukan hanya sekedar memberikan tugas saja.
Mereka juga dituntut untuk mengirimkan laporan kepada wakil kepala sekolah setiap hari/ setiap minggu. Merangkum satu persatu nilai siswa. Bagi guru muda mungkin tidak terlalu sulit karena mereka terbiasa dengan internet dan sejenisnya. Tapi guru yang sudah berumur? Yang masih gaptek teknologi? Akhirnya tertatih2 untuk kembali belajar tentang pembelajaran online.
Belum lagi guru-guru di daerah yang sinyal internet sulit ditemukan. Mereka akhirnya jalan ke rumah siswa untuk menjemput hasil belajar. Melakukan kunjungan ke rumah-rumah siswa, memastikan mereka tetap mendapatkan pembelajaran dengan baik. Lalu kembali berkecimpung untuk menulis laporan setebal buku.
Siswa, jangan ditanya stresnya mereka. Dikurung di rumah berbulan tidaklah menyenangkan. Betapa mereka merindukan bisa nongkrong bareng teman-temannya. Betapa mereka merindukan suasana di dalam kelas yang selama ini membuat bosan.
Betapa mereka merindukan bel tanda istirahat yang selalu membuat semangat kembali menyala. Bau harum dari kantin sekolah yang penuh dengan makanan kesukaan. Jangan tanya betapa rindu mereka dengan semua itu.
Lalu bagaimana dengan belajar daring? Serukah? Rata-rata akan menjawab, di awal masa pandemi mereka bahagia mendapatkan libur yang panjang. Tapi hanya beberapa minggu, setelah itu? Gabut.
Saat belajar online diterapkan mereka mulai merasa bahwa segalak-galaknya guru mereka di sekolah, hanya sepuluh persen dibandingkan galaknya emak di rumah. Sekolah tatap muka tetap menjadi idola.
Orangtua, jangan ditanya perasaan mereka dengan adanya sekolah daring ini. Terkhusus emak-emak. Sejak dimulainya sekolah daring, deretan klinik dan RS mulai diisi oleh emak-emak yang sakit hipertensi.
Banyak yang merasa lelah hati dan fisik. Mulai dari pengeluaran untuk kuota internet yang membludak, pengeluaran untuk membeli HP yang di luar rencana, sampai pengeluaran untuk makanan yang harus selalu tersedia di rumah.
Untuk emak yang gaptek, stresnya belipat ganda. Belum masuk jam sekolah, emak sudah stres. Yang awalnya tidak paham dengan whatsapp dan sejenisnya, sekarang sudah harus standby dan mau tidak mau harus tau.
Mulai belajar daring semakin stres karena tidak tau cara memutar video yang dikirim oleh guru. Sampai akhirnya menemukan nama anak mereka di grup WA, tertera dalam deretan nama anak yang belum menyelesaikan tugas hari itu. Bagi orang tua yang bekerja, mereka harus mampu membagi waktu antara pekerjaan kantor dengan pekerjaan rumah anak. Semua harus selesai hari itu.
Terkadang harus merelakan salah satunya terbengkalai demi mengejar yang dianggap prioritas. Belum lagi orangtua yang anaknya 5 namun hanya punya 1 HP. Berusaha mencari solusi dengan mendahulukan mana yang paling prioritas. Aplagi jika tidak ada tenggat waktu dari guru karena guru juga dikejar laporan setiap hari. Hasilnya? Anak dianggap tidak ikut sekolah.
Jadi, ini bukan musibah bagi satu pihak saja. Ini musibah bagi semuanya. Kita berharap bisa saling bersinergi untuk tetap mampu menghadirkan lingkungan belajar yang kondusif bagi anak-anak. Agar mereka tetap bahagia dan mendapatkan hak mereka dengan sepatutnya.
Semoga pandemi ini segera berakhir. Semoga kebijakan2 pemerintah selalu pro rakyat. Baik untuk kita, baik untuk mereka, baik untuk semua.
0 Komentar
Post a Comment